Beberapa waktu lalu, santer pemberitaan di media massa seputar ‘bersatunya’ operator Tri dan Indosat. Namun, sehubungan basis perusahaan yang sama-sama kuat, akan tidak mudah jika asal menandatangani MoU begitu saja. Pendekatan antara Hutchison 3 dan Indosat Ooredoo sebelum sepakat untuk merger, nyatanya baru berlangsung satu bulan. M Danny Buldansyah, yang merupakan Wakil Direktur Utama Tri mengungkapkan perkembangan terbaru (proses merger) kini masih dalam bahasan.
Ia menambahkan, sejak nota kesepahaman ditandatangani akhir 2020, kedua operator seluler sama-sama mengumpulkan data perusahaan masing-masing. Begitu juga telah menunjuk konsultan legal, keuangan, bisnisnya masing-masing.
“Mudah-mudahan semua selesai sebelum akhir April. Kalau bisa dipercepat lebih baik lagi. Itu tahapannya sampai sekarang,” katanya dalam sebuah diskusi online yang digelar Alinea, Rabu (3/2/2021).
Dalam kesempatan ini, Danny menggarisbawahi bahwa nota kesepahaman yang sudah disepakati itu tidak main-main, begitu juga tidak ingin gagal untuk mencapai kata “sepakat”.
“Kalau kedua para pemegang saham yang kita tahu pemain kelas dunia itu, sudah MoU, bukan untuk gagal dong, bukan cuma asal main-main tandatangan, sudah serius. Tapi, kedua belah pihak sangat serius dalam menyikapi atau menindaklanjuti MoU tersebut,” ucap Danny.
Selama proses pendekatan yang berjalan sampai April 2021, Danny mengharapkan, adanya kecocokannya yang bisa memberikan dampak ke perusahaan ke depannya.
“Dua perusahaan yang berdiri sendiri nantinya bersatu, tentu sinergi kedua perusahaan itu membawa keuntungan. Diharapkan, kalau satu tambah satu tidak sama dengan dua, tapi bisa jadi empat atau lima,” tuturnya.
“Nah, realisasi harapan itu tidak mudah. Kita fokus merger atau konsolidasi ini terjadi secepatnya, baik secara administrasi, regulasi bisa memenuhi semuanya. Ini fokus kita dulu sebelum kita ngomong setelah merger kita mau ngapain,” pungkasnya.
Terlalu banyak operator, sudah saatnya Indonesia memiliki prinsip “simple”
XL menyelesaikan transaksi pembayaran sebesar 865 juta dollar AS untuk mengakuisisi Axis pada 19 Maret 2014. Saat itu, Presiden Direktur dan CEO XL Axiata, Hasnul Suhaimi mengatakan, dengan terjadinya merger tsb, bukan tidak mungkin (terjadinya merger) bisa memberikan layanan yang lebih baik lagi, bagi pelanggan operator selulernya.
Di Indonesia, yang negaranya memang berbentuk pulau-kepulauan, agak sedikit rumit dan juga memakan biaya yang tidak sedikit, untuk membangun sebuah infrastruktur (BTS). Sekedar informasi tambahan saja, Banyak orang yang sering salah kaprah dalam mengartikan BTS (Base Transceiver Station) atau dalam bahasa Indonesianya stasiun pemancar.
Tower-nya sendiri yang dibuat dari besi atau pipa, memiliki panjang antara 40 hingga 75 meter. Tiap daerah-pun memiliki panjang tower BTS yang berbeda-beda disesuaikan dengan kondisi geografis serta luas jangkauan jaringan yang ditargetkan. Mengapa biaya pembangunannya tergolong mahal?
Karena, Tower yang semisal memiliki 4 kaki (Rectangular Tower) saja, bisa memakan biaya 650 juta sampai dengan 1 miliar rupiah. Karena konstruksinya yang kokoh, tower ini diharapkan memiliki kekuatan yang optimal untuk menghindari kemungkinan roboh. Tingginya kurang lebih 42 meter serta mampu mencakup banyak antena dan radio.
Sekarang coba Anda bayangkan, bagaimana jika di Indonesia memiliki 10 operator dimana tiap-tiap operator memiliki BTS-nya masing-masing serta ego-nya masing-masing. Bukankah itu hanya pemborosan lahan? Mengapa tidak merger dan saling menguatkan kualitas, ketimbang memperbanyak kuantitas?