Pulsa reguler merupakan pulsa yang dibeli dengan harga normal dan biasanya menambah masa aktif. Pulsa Transfer kebalikannya, ia sebenarnya tidak menambah masa aktif.
Namun operator seperti Indosat, XL atau Tri, meski terjadi aktivitas pulsa transfer, beberapa diantaranya akan menambah masa aktif kepada si penerima.
Pulsa reguler dan pulsa transfer, sebenarnya cara kerjanya mirip dengan sistem transfer antar bank. Bahkan, operator seperti Smartfren, ia mengklaim bisa melakukan aktivitas transfer pulsa ke operator lain.
Pulsa Reguler Hampir Menyerupai Bank Mini Secara Individu
Dalam konsep dunia digital, angka hanyalah sebatas angka saja. Jika bank sentral (BI alias Bank Indonesia) mencetak uang dan mengedarkan kepada masyarakat melalui bank-bank perwakilan, secara fisik.
Lain halnya dengan dunia pulsa, yang mana tiap-tiap operator memiliki kemampuan mencetak atau mengedarkan kepada masyarakat melalui server pulsa atau agen pulsa.
Dan, ketika pulsa sudah diterima oleh pembeli. Si pembeli tersebut bisa menggunakannya atau justru memanfaatkannya dengan cara menjual kembali.
Beberapa web services, bahkan menggunakan sarana pulsa sebagai alat tukar. Yang sering terjadi juga, bisnis judi online sebagian memanfaatkan pulsa sebagai alat pembayaran.
…
Sedikit informasi, Bank Indonesia (BI) adalah lembaga yang menerbitkan uang Rupiah di Indonesia. Sejak didirikan pada 68 tahun lalu tepatnya 1953.
Uang kertas atau uang logam yang dicetak bank sentral tersebut, secara teori juga harus meyakinkan masyarakat bahwasanya tiap-tiap kertas yang dicetak, memiliki kadar nilainya masing-masing.
Dalam mencetak uang, BI akan memperhatikan nilai riil atau daya beli uang rupiah atau inflasi. Selain itu, uang yang tak layak edar, seperti sobek atau sudah tidak enak dipandang, akan dimusnahkan dan diganti dengan yang reguler.
Bagaimana dengan sistem digital seperti pulsa atau uang elektronik?
Pulsa reguler, pulsa transfer atau e-wallet atau e-money atau uang elektronik, secara teori bisa diubah dengan mudahnya melalui backend atau sistem yang mereka pakai.
Ibaratnya, ‘pencetakan nominal uang digital’, juga harus mendapat keyakinan masyarakat dan bisa memiliki lintas manfaat.
Gopay, OVO dan operator Telkomsel—mungkin bisa disebut sebagai perusahaan, yang berhasil meyakinkan masyarakat, mudahnya melakukan transaksi lewat rupiah digital.
Saya sendiri, sempat mendengar lewat percakapan di radio, apa jadinya jika gaji karyawan dibayar menggunakan Gopay?
2 dari 3 orang yang berada di studio, yang satu mengatakan “Tidak”, karena alasan belum siap. Sementara yang satunya, mengatakan “Siap” karena sudah saatnya Indonesia beralih ke rupiah digital.
Memang benar, kunci kesiapan dalam melek teknologi dipegang oleh individu masing-masing.
Saya sendiri yakin, Anda yang membaca artikel ini, 90% pasti memiliki akses lewat mbanking—ketimbang sekedar punya kartu debit dan melakukan transfer uang reguler lewat ATM.
Reguler yang Kontradiksi
Jika reguler memiliki arti mengikuti peraturan, maka kontradiksi adalah pertentangan yang berlawanan.
Presiden kita saat ini, sangat bersemangat menyambut era 4.0 atau industri 4.0, yang mana merupakan sebuah ambisi agar masyarakat bisa lebih sadar dan bisa memanfaatkan teknologi menjadi lebih baik lagi.
Saat ini, sebagian pemerintahan (juga) sudah memanfaatkan dunia digital.
Anda, yang hanya bermodalkan smartphone saja, bisa melakukan : nikah online, ktp online, bayar pajak online, mendapat tilang online, booking wanita online, asuransi online dan online lainnya (selama website tidak gangguan) dan mengunjungi kantor offline.
Untungnya, dunia jual-beli pulsa, transaksi atau kegiatan reguler pulsa, tidak mewajibkan para pembelinya mendatangi kantor pulsa, jika membelinya secara online.
Jika ada kendala, kita sendiri benar-benar bisa mengurusnya via online saja. Bisa lewat menghubungi customer services, media sosial masing-masing atau cara online lainnya.
Saya malah kebingungan sendiri, bagaimana mungkin seseorang melakukan kegiatan online sementara ketika ada masalah harus mendatangi versi offline.
Ini mirip seperti orang yang berada di Semarang, yang membeli pulsa (online) 10.000 di server pulsa yang berada di Jakarta. Ketika bermasalah, apakah layak, jauh-jauh dari Semarang datang ke Jakarta, untuk komplain pulsa 10.000?
Untungnya, cara kerja dunia pulsa tidak seperti itu.
Sedikit terlintas dipikiran saya,
Sebenarnya yang tidak siap online, siapa?